Pemilihan Penolong Persalinan Untuk Menurunkan Angka Kematian Ibu dan Balita

Saat ini angka kematian ibu (AKI) di Indonesia merupakan angka tertinggi di kawasan Asia Tenggara. AKI di provinsi Jawa Barat sendiri mencapai 724 kasus pada tahun 2008. Untuk kasus kematian bayi, pada tahun 2008 ditemukan sebanyak 41 kasus di Jawa Barat dari 165 kasus di seluruh Indonesia, dimana 60,98 % persalinannya ditangani oleh dukun bersalin (Depkes RI, 2009). 

 Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 Angka Kematian Bayi 34/1.000 kelahiran hidup. Sementara SDKI tahun 2007 Angka Kematian Ibu 228/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2012 naik menjadi 359/100.000 kelahiran hidup. Dalam laporan Millenium Development Goals (MDG’s) (2010) disebutkan, ada tiga solusi yang dianggap paling efektif untuk menekan AKI, yakni; pelayanan antenatal, persalinan oleh tenaga kesehatan, dan pelayanan dasar dan komprehensif. Pemerintah dalam menurunkan AKI/AKB tersebut menyelengarakan suatu target yang ingin dicapai pada tahun 2015 yang merupakan sasaran MDGs yaitu Angka Kematian Ibu sebesar 102/100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi menjadi 24/1.000 kelahiran hidup (Kemenkes, 2012).

Kematian ibu sebagian besarnya terjadi pada saat persalinan, dimana 9 dari 10 kematian ibu terjadi saat persalinan dan diseputarnya (Depkes RI, 2009). Salah satu faktor yang melatarbelakangi kematian ibu adalah kondisi tiga terlambat, yakni terlambat dalam memeriksakan kehamilan, mengenal tanda bahaya dan mengambil keputusan, terlambat dalam memperoleh pelayanan persalinan dari tenaga kesehatan, dan terlambat sampai di fasilitas kesehatan pada saat dalam keadaan emergensi (Kemenkes RI, 2011). 

Target cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dalam rangka mencapai Indonesia Sehat 2010 adalah sebesar 90% (Depkes RI, 2003). Namun, data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 mencatat cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan terlat ih baru mencapai 82,3% (Depkes RI, 2010). Dari data Riskesdas tersebut, sebanyak 43,2 % ibu hamil melahirkan di rumahnya sendiri, dimana hanya 2,1 % yang mendapat pertolongan oleh dokter, 5,9 % oleh bidan dan 1,4 % oleh tenaga medis lainnya, sisanya sebesar 4 % ditolong keluarga dan yang paling banyak 40,2 % ditolong dukun beranak (Pramudiarja, 2011). Berdasarkan data Riskesdas tahun 2010, persalinan bukan di fasilitas kesehatan di Jawa Barat mencapai 41,5%, dan persalinan oleh dukun

Angka Kematian Ibu berdasarkan data Profil Kesehatan Jawa Barat Tahun 2012 angka AKI yang tinggi, yakni 343/ 100.000 kelahiran. Angka kematian Bayi yakni 30/1.000 kelahiran hidup (Dinkes Jabar, 2012).

Menurut Prof. Dr. Dinan S. Bratakoesoema, dr., SpOG(K) saat menyampaikan pidato purnabakti

“Seharusnya AKI ini dipandang sebagai publical problem. Nyatanya di beberapa puskesmas, publical problem masih dikategorikan untuk penyakit menular,” ujar Guru Besar Fakultas Kedokteran (FK) Unpad, Prof. Dr. Dinan S. Bratakoesoema, dr., SpOG(K), saat menyampaikan Pidato Purnabaktinya yang berjudul “Penurunan Angka Kematian Ibu di Jawa Barat, Suatu Tantangan Bagi Insan Kesehatan Jawa Barat”, Rabu (17/04) di Auditorium Rumah Sakit Pendidikan Unpad, Bandung”

Menurut Prof. Dinan, tingginya AKI di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa hal yang lebih dikenal dengan istilah 4 terlalu dan 3 terlambat, yakni terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering melahirkan, terlalu banyak, dan terlambat dalam mencapai fasilitas, terlambat mendapatkan pertolongan, dan terlambat mengenali tanda bahaya kehamilan dan persalinan. Oleh karena itu, pelayanan KB berkualitas di Indonesia perlu diperhatikan secara serius.

“Ibu-ibu di Jawa Barat ternyata masih banyak yang melahirkan dengan bantuan dari para paraji atau dukun beranak. Sebab, ketersediaan bidan di wilayah Jawa Barat belum merata,” ujar Prof. Dinan.

Di sisi lain, para bidan yang ada pun belum sepenuhnya memiliki keahlian di bidangnya. Hal itulah yang disesalkan oleh Prof. Dinan. Oleh karena itu, ia bersama Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) tengah menggalakkan program EMAS (Expanding Maternal and Neonatal Survival) di Jawa Barat.

Adapun sasaran utama program EMAS tersebut ialah memperbaiki sistem rujukan dengan mempercepat komunikasi antara bidan, puskesmas, dan RSUD, membina dan meningkatkan kemampuan dan kewaspadaan bidan di desa, puskesmas, dan RSUD, serta meningkatkan kemampuan dan kecepatan penanggulangan kegawatdaruratan di RS rujukan.

Faktor lain yang menyebabkan ibu lebih memilih paraji secara psikologis, Paraji dikenal memberikan perhatian yang lebih kepada calon ibu. Mulai dari pijatan-pijatan tambahan, pelayanan yang penuh keibuan, dan kharisma “orang pintar” yang membuat banyak perempuan merasa aman. Sepulang dari paraji pun, si ibu masih dibekali dengan jampi-jampi, bawang putih, telur ayam kampung, atau barang-barang lainnya untuk sebagian masyarakat kita masih mampu memberikan rasa aman dan percaya diri. Pelayanan penuh empati itu, rupa-rupanya masih jarang ditemukan pada para dokter yang serba prosedural dan memiliki jarak sosial yang jauh dari kebanyakan pasiennya. Sedangkan di puskesmas atau tempat praktek bidan, lebih sering digunakan menjadi sarana magang para calon bidan yang justru mengurangi kenyamanan dan kepercayaan para ibu hamil. Terkenal pula sugesti yang muncul di tengah masyarakat bahwa “ kalo pengen lahir normal mah, ka paraji ato bidan we, kalo ka dokter mah pasti ceasar!”. Sugesti semacam ini lahir barangkali dari pengalaman-pengalaman yang dialami ketika berhubungan dengan tenaga medis maupun tenaga non medis, seperti paraji. 

Seiring dengan berputarnya waktu dan perkembangan teknologi, ilmu kesehatanpun semakin canggih termasuk dalam Pelayanan Kesehatan Ibu Bersalin, dahulu kala persalinan sepenuhnya ditangani oleh dukun paraji dan sampai saat ini pun masih ada persalinan yang ditolong oleh dukun paraji oleh karenanya sulit ssekali untuk menekan angka persalinan yang  ditolong oleh dukun paraji mungkin ini dikarenakan sangat kuatnya sugesti masyarakat terhadap dukun paraji walaupun sebenarnya pengetahuan masyarakat sudah  mengerti akan keselamatan persalinan dan resiko akan persalinan yang akan terjadi.  Pemeritahpun sudah sangat jelas menugaskan para bidan dipelosok-pelosok desa yang terpencil yang pada dasarnya untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Ini merupakan tantangan karena harus dapat merubah kebiasaan, adat istiadat dan mitos dari masyarakat tersebut.
Ternyata tak semudah seperti membalikan telapak tangan ini  memerlukan waktu yang sangat lama untuk bisa mengerti keinginan dari masyarakat tersebut, diperlukan pendekatan kepada dukun paraji dan ibu hamil sebagai sasaran karena tentunya mereka memiliki persepsi yang berbeda-beda, dan apa yang diinginkan dari ibu hamil dan dukun paraji tersebut, ternyata yang  sangat mendasar seperti :
1. dukun paraji murah tak pernah mebandrol tarip akan jasa pertolongannya
2. bila ditolong oleh bidan merasa tarifnya mahal dan takut akan tindakan bidan yang selalu memakai alat instrumen kebidanan
mungkin disinilah ternyata masih lemahnya pengetahuan dari masyarakat tentang penaganan persalinan yang sesuai dengan standar ilmu dan tekhnologi kebidanan saat ini,dengan adanya program kemitraan antara bidan dengan dukun paraji
Banyak yang hal lainnya yang melatarbelakangi ibu dalam memilih penolong persalinan , diantaranya rata-rata ibu yang memilih paraji berpendidikan dan berpenghasilan rendah, ditambah tingkat kepercayaan ibu hamil yang masih kuat terhadap paraji.

Semoga saja dengan terus dan terus memberi penyuluhan pada masyarakat khususnya pada sasaran adalah para ibu hamil mengerti akan pentingnya persalinan ditolong oleh bidan dan atau tenaga kesehatan dan bersalinnya di tempat pasilitas kesehatan, karena untuk saat ini kita punya pedoman bahwa setiap ibu hamil adalah beresiko, sehingga perlu ditangani oleh bidan dan atau tenaga kesehatan bukan berarti tidak boleh oleh dukun paraji tetapi sesuai dengan standar ilmu saat ini tak cukup menolong persalinan tidak hanya berdasarkan pengalaman saja tetapi menolong persalianan harus juga berdasarkan ilmu dan kewenangannya sementara yang dipunyai dukun paraji hanya pengalaman saja.. sehingga dengan adanya kemitraan ini bidan bisa mewujudkan keberhasilan program. dan para ibu pun bisa terselamatkan dan para bayi pun juga terselamatkan.dan yang lebih penting dukun paraji merasa bidan bukan saingan tapi mitra secara lahir dan bhatin untuk menyelamatkan kaum ibu dan menylamatkan bayi yang sangat diharapkan sebagai penerus keturunan kehidupan.

Sumber : Depkes.go.id ; Puskesmas Perbayuran ; duniayanu.blogspot.com
Penulis : Amelia Jelita (2013)


0 komentar:

Posting Komentar